POHUWATO, FAKTAKATA.ID– Derita petani di Desa Duhiadaa, Kecamatan Duhiadaa, Kabupaten Pohuwato, semakin berat. Gagal panen berulang kali kini berujung pada lilitan hutang yang menumpuk, hingga membuat sebagian besar sawah terbengkalai. Situasi tersebut diperparah dengan rusaknya sumber air irigasi akibat aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) di wilayah itu.
Herman (48), salah seorang petani setempat, mengaku kondisi tersebut membuatnya hampir putus asa. Sawah yang biasanya bisa dipanen dua kali setahun kini tak lagi bisa ditanami karena saluran irigasi dipenuhi lumpur.
“Sudah berapa kali saya coba pinjam modal, tapi tidak ada lagi yang mau kasih. Hutang lama saya saja belum bisa saya bayar. Pupuk pun tidak sanggup beli, apalagi ongkos olah tanah,” keluh Herman dengan wajah murung, Rabu (17/9/2025).
Ia menuturkan, hutang yang menjeratnya kini sudah mencapai puluhan juta rupiah. Pinjaman tersebut sebelumnya digunakan membeli bibit dan pupuk, namun panen tidak pernah berhasil karena sawahnya gagal tanam berulang kali.
“Kalau begini terus, saya takut anak-anak saya tidak bisa lagi sekolah. Untuk makan sehari-hari saja sudah susah. Sawah yang harusnya jadi harapan keluarga, sekarang cuma jadi beban,” ungkapnya lirih.
Herman berharap pemerintah segera turun tangan membantu petani, bukan sekadar memberi janji. “Kalau ada sedikit bantuan mungkin kami masih bisa bertahan. Tapi kalau tidak ada, terpaksa meninggalkan sawah dan cari kerja lain. Itu yang paling saya takutkan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Desa Duhiadaa, Nawir Makuta, membenarkan kondisi sulit yang dialami warganya. Menurutnya, petani benar-benar berada dalam situasi terjepit karena modal habis dan hutang menumpuk.
“Kasihan petani, modalnya sudah tidak ada lagi. Untuk mengolah tanah dan membeli pupuk pun mereka kesulitan. Pengusaha gilingan juga tidak mau lagi memberikan pinjaman karena hutang lama belum terbayar,” jelas Nawir.
Ia menambahkan, kerusakan lingkungan akibat PETI menjadi pemicu utama. Air yang seharusnya menopang pertanian kini berubah keruh dan berlumpur. Kondisi ini bukan hanya merugikan petani, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat desa.
“Air ini sama sekali tidak bisa dipakai untuk sawah. Sudah penuh lumpur, mustahil petani bisa menanam dengan kondisi seperti ini,” tegasnya.
Nawir menilai masalah yang dihadapi warganya sudah menyangkut ketahanan ekonomi desa. Jika lahan sawah tidak difungsikan, pendapatan utama warga akan hilang, sementara cicilan hutang semakin menekan.
“Kalau petani berhenti menanam, mereka tidak punya penghasilan sama sekali. Ini bisa memicu masalah sosial baru di masyarakat. Harapan kami, ada solusi nyata agar air kembali bersih dan sawah bisa digarap lagi,” pungkas Nawir. (*)












